Kisah Sahabat Nabi - Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu
'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu adalah khalifah ke-empat (terakhir) dari Al-Khulafa' Ar-Rasyidin (empat khalifah besar). Orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi ﷺ yang kemudian menjadi menantunya.
Ayahnya, Abu Talib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi ﷺ, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ibunya bernama Fatimah binti As'ad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti oleh ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, Ali radhiyallahu 'anhu diambil sebagai anak asuh oleh Nabi ﷺ, sebagaimana Nabi ﷺ pernah diasuh oleh ayahnya, Abi Thalib. Pada waktu Nabi Muhammad ﷺ diangkat menjadi Rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu 'anha, istri Nabi ﷺ. Sejak saat itu, Ali radhiyallahu 'anhu selalu bersama Rasulullah ﷺ, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah ﷺ menerima wahyu.
Sebagai anak asuh Rasulullah ﷺ, Ali radhiyallahu 'anhu banyak menimba ilmu berkenaan dengan rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan praktis.
Ketika Nabi ﷺ hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, Ali radhiyallahu 'anhu diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah ﷺ dan tidur di tempat tidur Beliau ﷺ. Hal tersebut bertujuan untuk memperdaya kaum Quraisy, agar mereka menyangka bahwa Nabi Muhammad ﷺ masih berada di rumahnya.
Ketika itu, kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad ﷺ. Ali radhiyallahu 'anhu juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali radhiyallahu 'anhu mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut.
Dengan cara tersebut Rasulullah ﷺ beserta Abu Bakar radhiyallahu 'anhu selamat ketika meninggalkan kota Mekkah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar bahwa Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu telah sampai ke Madinah, Ali radhiyallahu 'anhu pun kemudian menyusul ke sana.
Setelah sampai di Madinah, Ali radhiyallahu 'anhu dinikahkan dengan putri Rasulullah ﷺ, Fathimah Az-Zahra radhiyallahu 'anha yang ketika itu (tahun 2 Hijriyah) berusia 15 tahun. Ali radhiyallahu 'anhu menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 putra putri.
Fathimah Az-Zahra radhiyallahu 'anha adalah istri pertama Ali radhiyallahu 'anhu. Dari Fathimah radhiyallahu 'anha, Ali dianugerahi 2 putra serta 2 putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum, yang kemudian Ummu Kulsum diperistri oleh Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu.
Setelah Fathimah wafat, Ali radhiyallahu 'anhu menikah secara berturut-turut dengan 8 wanita yang diantaranya adalah,
- Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab yang melahirkan 4 orang putra, yaitu Abbas, Ja'far, Abdullah, dan Utsman.
- Laila binti Mas'ud At-Tamimiah yang melahirkan 2 orang putra, yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
- Asma binti Umair Al-Kuimiah yang melahirkan 2 orang putra, yaitu Yahya dan Muhammad.
- As-Sahba binti Rabi'ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab yang melahirkan 2 anak, yaitu Umar dan Ruqayyah
- Umamah binti Abi Ash bin Ar-Rabb, putri Zainab binti Rasulullah ﷺ yang melahirkan seorang anak, yaitu Muhammad.
- Khanlah binti Ja'far Al-Hanafiah yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (Al-Hanafiah).
- Ummu Sa'id binti Urwah bin Mas'ud yang melahirkan 2 anak, yaitu Ummu Al-Husain dan Ramlah.
- Mahyah binti Imri' aA-Qais Al-Kalbiah yang melahirkan seorang anak, yaitu Jariah.
Ali radhiyallahu 'anhu dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana tersebut bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan juga kepada putra putrinya.
Ali radhiyallahu 'anhu terkenal sebagai panglima perang yang sangat gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebuah pedang (warisan dari Nabi ﷺ) yang bernama Zul Faqar. Beliau juga turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad ﷺ dan selalu menjadi andalan di barisan terdepan.
Selain sebagai panglima perang, Ali radhiyallahu 'anhu juga dikenal sangat cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam. Sebagaimana yang telah disabdakan dari Nabi ﷺ,
"Aku ﷺ adalah kota ilmu pengetahuan, sedang Ali adalah pintu gerbangnya."
Karena itu, nasihat serta fatwa Ali radhiyallahu 'anhu selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ketika Rasulullah ﷺ wafat, Ali radhiyallahu 'anhu sampai menunggu jenazah dan mengurus pemakaman Beliau ﷺ, sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan masalah pengganti Nabi ﷺ.
Setelah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi ﷺ dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali radhiyallahu 'anhu tidak segera membai'atnya. Ali radhiyallahu 'anhu baru membaiatnya setelah beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu, Ali radhiyallahu 'anhu termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota Majelis Asy-Syura, salah satu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum tersebut beranggotakan 6 orang, kelima orang lainnya adalah Utsman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin 'Auf. Hasil musyawarah menentukan Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khathab.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Ali banyak mengkritik kebijaksanaan Utsman yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihati Utsman agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatas namakan dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Utsman bin Affan.
Kritik Ali terhadap Utsman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fikih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Utsman juga dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Utsman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui oleh Ali.
Utsman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein untuk membela Utsman. Akan tetapi, karena pemberontaknya berjumlah besar dan sudah kalap, maka Utsman tidak dapat diselamatkan.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, maka kaum muslimin meminta agar Ali bin Abi Thalib dibai'at menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa selain Ali bin Abi Thalib, tidak ada lagi orang yang patut menjadi khalifah setelah Utsman bin Affan.
Mendengar permintaan umat yang banyak itu, maka Ali bin Abi Thalib berkata,
"Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang sangat penting, urusan tokoh-tokoh Ahlusy Syura bersama para pejuang Perang Badr."
Dalam suasana yang masih kacau, maka akhirnya Ali bin Abi Thalib dibai'at menjadi khalifah. Pembai'atan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu diantaranya Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembai'atan dilakukan pada tanggal 25 Dzulhijah di Masjid Madinah seperti pembai'atan para khalifah sebelumnya.
Segera setelah dibai'at, Ali bin Abi Thalib mengambil langkah-langkah politik, yaitu,
- Memecat para pejabat yang diangkat oleh Utsman bin Affan, termasuk di dalamnya beberapa gubernur lalu memilih penggantinya.
- Mengambil tanah yang telah dibagikan oleh Utsman bin Affan kepada keluarga serta kaum kerabatnya tanpa alasan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661 Hijriyah.
Kemudian pemberontakan ketiga datang dari Aliran Khawarij, yang awalnya merupakan bagian dari pasukan Ali bin Abi Thalib dalam menumpas pemberontakan Mu'awiyah, tetapi kemudian mereka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu'awiyah.
Karena mereka keluar dari barisan Ali, maka mereka disebut "Khawarij" (orang-orang yang keluar), jumlah mereka sampai ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali bin Abi Thalib adalah amirul mukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.
Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah "tidak ada hukum kecuali bagi Allah." Ali bin Abi Thalib beserta sebagian pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan. Kaum Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa yang berada didekat Kufah. Mereka mulai mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub'it At-Tamimi sebagai panglima angkatan perang serta Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.
Di Harurah, mereka segera menyusun kekuatan untuk melawan Ali bin Abi Thalib beserta orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu'awiyah, 'Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asy'ari. Kegagalan Ali bin Abi Thalib dalam tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud mereka.
Posisi Ali bin Abi Thalib menjadi serba sulit ketika itu, disatu pihak ia ingin menghancurkan Mu'awiyah yang semakin kuat di Syam, dipihak lain kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi, tercurahnya perhatian Ali radhiyallahu 'anhu untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan oleh pasukan Mu'awiyah untuk merebut Mesir.
Pertempuran sengit antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658 Hijriyah dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali bin Abi Thalib. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri dan pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi juga ikut terbunuh.
Sejak saat itu, kaum Khawarij tiba tiba menjadi lebih ganas karena kekalahan ketika di Nahrawan menumbuhkan rasa dendam di hati mereka. Secara diam-diam, kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh 3 orang yang dianggapnya sebagai biang keladi perpecahan antar umat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah, serta 'Amr bin Ash.
Sedangkan pembunuhnya telah ditetapkan oleh 3 orang yang diantaranya adalah,
- Abdur Rahman bin Muljam yang ditugaskan untuk membunuh Ali di Kufah.
- Barak bin Abdillah At-Tamimi yang ditugaskan untuk membunuh Mu'awiyah di Syam.
- 'Amr bin Bakar At-Tamimi yang ditugaskan untuk membunuh 'Amr bin Ash di Mesir.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengembuskan napas terakhir setelah menjadi pimpinan sebagai khalifah selama kurang lebih 4 tahun.