Makna Tasyri'
Tasyri’ adalah hak Allah Subhannahu wa Ta’ala. Yang dimaksud dengan tasyri’ adalah apa yang diturunkan Allah Subhannahu wa Ta’ala untuk hamba-Nya berupa manhaj (jalan) yang harus mereka lalui dalam bidang aqidah, muamalat, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya masalah penghalalan dan pengharaman.
Tidak seorang pun berwenang menghalalkan kecuali apa yang sudah dihalalkan Allah, juga tidak boleh mengharamkan kecuali apa yang sudah diharamkan Allah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (An-Nahl: 116)
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal’. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Allah telah melarang penghalalan dan pengharaman tanpa dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan Dia menyatakan bahwa hal itu adalah dusta atas nama Allah. Sebagaimana Dia telah memberitahukan bahwa siapa yang menghalalkan atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil maka ia telah menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam hal tasyri’.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Siapa yang menta’ati musyarri’ (yang membuat syari’at) selain Allah maka ia telah menyekutukan Allah. “… dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121)
Maksudnya adalah orang-orang yang menghalalkan bangkai-bangkai yang sudah diharamkan Allah. Maka siapa yang menta’ati mereka, dia adalah musyrik. Sebagaimana Allah memberitahukan bahwa siapa yang menta’ati para ulama dan rahib-rahib dalam hal menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka ia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Dia Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)
Ketika Adiy bin Hatim Radhiallaahu anhu mendengar ayat ini, ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam berkata kepadanya: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, kemudian kalian menghalalkannya. Dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, kemudian kalian mengharamkannya?!” Ia menjawab, “Ya. benar.” Maka beliau bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Rahimahullaah berkata, “Di dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa menta’ati ulama dan pendeta dalam hal maksiat kepada Allah berarti beribadah kepada mereka dari selain Allah, dan termasuk syirik akbar yang tidak diampuni oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala .
Karena akhir ayat tersebut berbunyi: “… padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)
Senada dengan itu adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguh-nya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121)
Hal ini banyak menimpa orang-orang yang bertaklid kepada ulama mereka. Karena mereka tidak melihat dalil lagi, meskipun ulama yang diikutinya itu telah menyalahi dalil. Dan ia termasuk jenis syirik ini. Maka menta’ati dan konsisten terhadap syari’at Allah serta meninggalkan syari’at-syari’at lainnya adalah salah satu keharusan dan konsekuensi dari laa ilaaha illallah. Dan hanya Allah-lah tempat kita memohon pertolongan.