Syarat Diterimanya Ibadah
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam.
Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahuwa muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Salam.
Syaikhul Islam mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)
Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah. Pada yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta menta’ati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat.
*(Al-Ubudiyah, hal. 103; ada dalam Majmu’ah Tauhid, hal. 645)