Tingkatan Dien
Definisi Tingkatan Dien
Dien adalah keta’atan. Dien juga disebut millah, dilihat dari segi keta’atan dan kepatuhan kepada syari’at.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Sedangkan tingkatan dien itu adalah:
1. Islam
Menurut bahasa, Islam berarti masuk dalam kedamaian. Sedangkan menurut syara’ Islam berarti pasrah kepada Allah, bertauhid, dan tunduk kepada-Nya, ta’at, dan membebaskan diri dari syirik serta para pengikutnya.
2. Iman
Menurut bahasa, iman berarti membenarkan disertai percaya dan amanah. Sedangkan menurut syara’, berarti pernyataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan.
3. Ihsan
Menurut bahasa, ihsan berarti berbuat kebaikan, yakni segala sesuatu yang menyenangkan dan terpuji.
Dan kata-kata ihsan mempunyai dua sisi:
- Pertama, Memberikan kebaikan kepada orang lain.
- Kedua, Memperbaiki perbuatannya dengan menyempurnakan dan membaikkannya.
Sedangkan ihsan menurut syara’ adalah sebagaimana yang di-jelaskan oleh baginda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dalam sabdanya: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Umar)
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: “Ihsan itu mengandung kesempurnaan ikhlas kepada Allah dan perbuatan baik yang dicintai oleh Allah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)
Agama Islam mencakup ketiga istilah ini, yaitu: Islam, iman dan ihsan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril ketika datang kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam di hadapan para sahabatnya dan bertanya tentang Islam, kemudian tentang iman dan ihsan. Lalu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan setiap dari pertanyaan tersebut. Kemudian beliau bersabda: “Inilah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan dien kalian.”
Jadi Rasulullah menjadikan dien itu adalah Islam, iman, dan ihsan. Maka jelaslah agama kita ini mencakup ketiga-tiganya. Dengan demikian Islam mempunyai tiga tingkatan: Pertama adalah Islam, kedua iman, dan ketiga adalah ihsan.* (Lihat Majmu’ Fatawa, 8/10 dan 622 )
Keumuman dan Kekhususan dari Ketiga Tingkatan Tersebut
Islam dan iman apabila disebut salah satunya secara terpisah maka yang lain termasuk di dalamnya. Tidak ada perbedaan antara keduanya ketika itu. Tetapi jika disebut keduanya secara bersamaan, maka masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri, sebagaimana yang ada dalam hadits Jibril.
Di mana Islam ditafsiri dengan amalan-amalan lahiriyah atau amalan-amalan badaniyah seperti shalat dan zakat. Sedangkan iman ditafsiri dengan amalan-amalan hati atau amalan-amalan batin seperti membenarkan dengan lisan, percaya, serta ma’rifat kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan seterusnya.
Adapun keumuman dan kekhususan antara ketiganya ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah sebagai berikut: “Ihsan itu lebih umum dari sisi dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi orang-orangnya daripada iman. Iman itu lebih umum dari segi dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi orang-orangnya daripada Islam. Ihsan mencakup iman, dan iman mencakup Islam. Para muhsinin lebih khusus daripada mukminin, dan para mukmin lebih khusus dari para muslimin.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/10 )
Oleh karena itu para ulama muhaqqiq mengatakan, “Setiap mukmin adalah muslim, karena sesungguhnya siapa yang telah mewujudkan iman dan ia tertancap di dalam sanubarinya maka dia pasti melaksanakan amalan-amalan Islam sebagaimana yang telah disabda-kan baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam :
“Ingatalah sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika ia baik maka menjadi baiklah jasad itu semuanya, dan jika ia rusak maka rusaklah jasad itu semuanya. Ingatlah, dia itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan tidak setiap muslim itu mukmin, karena bisa jadi imannya sangat lemah, sehingga tidak bisa mewujudkan iman dengan bentuk yang sempurna, tetapi ia tetap menjalankan amalan-amalan Islam, maka menjadilah ia seorang muslim, bukan mukmin yang sempurna imannya. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk’, …” (Al-Hujurat: 14)
Mereka bukanlah orang munafik secara keseluruhan, demikian menurut yang paling benar dari dua penafsiran yang ada, yakni perkataan Ibnu Abbas dan lainnya, tetapi iman mereka lemah. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “… dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; ..” (Al-Hujurat: 14)
Maksudnya tidaklah pahala mereka dikurangi berdasarkan iman yang ada pada diri mereka yang cukup sebagai syarat untuk diterimanya amalam mereka dan diberi balasan pahala. Seandainya mereka tidak memiliki iman, tentu mereka tidak akan diberi pahala apa-apa.*(Syarah Arba’in, Ibnu Rajab, hal. 25-26.)
Maka jelaslah bahwa dien itu bertingkat, dan sebagian tingkatannya lebih tinggi dari yang lain. Pertama adalah Islam, kemudian naik lagi menjadi iman, dan yang paling tinggi adalah ihsan.